no plagiarism . no copying . no cheating . no hacking . no destroying . no damaging . baddly is NOT here .

Saturday, January 15, 2011

Night, Full of Love

Violet duduk terdiam di klinik sambil menutupi wajahnya dengan sapu tangan hitamnya. Setitik air menetes dari saputangannya yang basah kuyup itu. Sesekali ia menyedot hidungnya dan membiarkan matanya tampak berwana merah menyala. Ia menangis. Dan hari itu ia tidak ingin bicara dengan Arthur, seseorang yang sangat istimewa baginya.


Hari ini Violet melewatkan beberapa pelajaran favoritnya. Ia benar-benar tidak sedang ingin belajar. Ada beberapa faktor yang membuatnya seperti ini. Tapi ia benar-benar kecewa dengan Arthur, mungkin beberapa sebab. Arthur adalah orang yang disukainya. Namun Arthur tidak bisa menerimanya, entah alasan apa yang dibuat Arthur. Tapi Arthur sangat menyayangi dan memperhatikannya tanpa sepengetahuan Violet sendiri.

"Ada apa?" tanya Arthur saat pulang sekolah, ia menghampiri Violet.

"Jangan tanya ada apa," jawab Violet singkat tanpa memandang Arthur sekalipun. Ia hanya menatap sneakers coklatnya dan berusaha mempercepat langkahnya.

"Baiklah kalau kau tidak mau mengatakannya. Padahal hari ini aku mau membeli sekotak coklat besar."

"Beli saja."

"Kau yakin tidak tertarik? Coklat favoritmu lho!" seru Arthur. Ia menundukkan kepalanya, berusaha melihat wajah Violet.

"Tidak. Kau makan saja sendiri," jawab Violet masih berusaha keras untuk tidak melihat Arthur.

"Padahal aku ingin merayakan kemenangan turnamen skateboard kemarin. Aku juga ingin mengajakmu pergi ke pertandingan basket besok siang."

"Tidak perlu. Aku sedang tidak enak badan. Sebaiknya aku pulang sekarang. Daah!" lambai Violet dengan cepat. Ia benar-benar tidak mau melihat Arthur.

Arthur hanya menatap kepergian Violet sambil memasang wajah kebingungan.

Di malam yang dingin ini, Violet hanya berdiri dari balik jendela, menatap jatuhnya air hujan sambil memegang erat handphone-nya. Ia mengenakan piyama putihnya dan membiarkan rambut hitamnya yang lurus tergerai. Satu jam yang lalu handphone-nya berbunyi. Ada SMS dari Arthur, dan Violet membiarkannya sampai sekarang. Ia pikir sebaiknya ia tidak perlu membalasnya.

"Vi," sahut seorang laki-laki dengan suara berat dari balik pintu kamarnya. "Boleh aku masuk?"

Hening. Violet tidak menjawab. Ia masih menatap hujan di luar sana.

"Vi?" tanya orang itu sekali lagi.

Violet menghela napas panjang. "Masuklah," jawab Violet dengan tatapan kosong.

Muncul seorang laki-laki berbadan tinggi mengenakan T-shirt biru donker polos dan celana 3/4 berwarna coklat muda. Rambut coklatnya terlihat sangat acak-acakan. Ia tersenyum polos. "Aku ada berita penting untukmu!" serunya. Dia adalah Tom, kakak laki-laki Violet yang kedua.

"Pentingkah itu?" tanya Violet mengalihkan pandangannya pada beberapa lembar kertas yang dibawa oleh Tom.

"Mungkin bagimu penting. Aku membelikanmu tiket untuk menonton pertandingan skateboarder-skateboarder terkenal! Aku teringat denganmu dan teman lelakimu, Arthur!" Serunya. Mata birunya berbinar-binar, membulat sangat besar sehingga kau bisa memasukkan sebuah kelereng ke dalamnya.

"Aku sedang banyak pikiran. Lagipula Arthur bukan teman lelakiku. Ia hanya teman sekolah."

"Whatever! Yang penting dia adalah satu-satunya teman yang sering mengajakmu melihat pertandingan skateboard!"

"Tapi biasanya dia yang ikut bertanding. Dia tidak bisa bertanding tanpa ada yang mensupportnya."

"Mungkin dalam pertandingan kali ini ada skateboarder favoritnya?"

"Aku malas memberitahunya."

"Ayolah, Vi," Tom memasang tampang--yang menurut Vi tampak sangat bodoh--memelasnya, dan sekali lagi Violet termakan hipnotisnya.

Violet menatap beberapa lembar tiket itu. Kemudian ia mengambil 2 tiket berwarna biru muda bertuliskan "Skateboard Performance and Tournament" bercetak tebal. Lalu ia mengangkat kepalanya menghadap ke arah Tom. "Buat apa tiket sebanyak itu?"

"Akan kujual," jawab Tom dengan senyum bodohnya.

"Seperti biasa," komentar Violet.

Malam itu juga, Violet pergi keluar rumah. Dengan setelan kaos polos berwarna ungu dibalut dengan jaket hitam tebal milik abang pertamanya, Jared serta celana cargo hitamnya yang sangat besar, ia bermaksud menghampiri Arthur. Ia tahu biasanya Arthur suka nangkring di lapangan basket sekolah pada malam hari. Violet sama sekali tidak membawa payung, ia hanya mengenakan topi berwarna putih yang bertuliskan NBA dengan ukuran yang besar dibagian depannya. Rambutnya dikuncir kebelakang dengan pita berwarna ungu sehingga ia tidak merasa gerah, walaupun ia tahu malam itu sangat dingin.

Dari balik jalan ia dapat melihat pintu ruangan lapangan basket terbuka. Ia yakin Arthur ada di dalam sana, entah bermain basket atau mencoba gerakan-gerakan baru dalam permainan skateboardnya.

Violet pun segera bergegas menuju ruangan basket tersebut. Setelah sampai di ambang pintu, ia dapat melihat ruangan besar yang sangat gelap dan mengerikan, beratus-ratus bangku penonton, serta berpuluh-puluh bola basket di dalam keranjang besi yang sangat besar. Ada sebuah suara yang tidak asing lagi baginya. Ia menoleh ke sudut ruangan di mana seseorang sedang berusaha keras bermain skateboard tanpa kehilangan keseimbangannya. Tapi berkali-kali dicoba pun ia tetap terjatuh.

"Arthur?" tanya Violet heran. Ia tidak pernah melihat Arthur jatuh dalam permainan skateboardnya.

"Kenapa kau tidak membalas SMS-ku?" tanyanya tanpa menghiraukan pertanyaan Violet.

"Kurasa aku tidak perlu membalasnya."

"Tapi aku butuh jawabanmu. Aku butuh penerimaan maafku itu."

"Untuk apa?"

"Entahlah. Aku hanya menjadi stress ketika kau tidak memaafkanku."

"Jadi karena itu kau selalu terjatuh setiap kau bermain skateboard barusan?"

"Mungkin," jawab Arthur ragu.

"Bodoh."

Arthur menoleh ke arah Violet. Ia mengerutkan dahinya. "Apa maksudmu?"

"Kenapa kau jatuh? Karena stress. Benarkah itu? Apakah aku tidak salah dengar?" tanya Violet sambil meletakkan telapak tangannya di samping telinga kanannya, berpura-pura berusaha mendengar sesuatu.

Arthur menggelengkan kepalanya. "Haruskah aku mengatakan alasan sebenarnya?" tanya Arthur kemudian.

"Entahlah. Pikirkan itu sendiri di sini," jawab Violet sambil mengetuk kepalanya tiga kali dengan jari telunjuknya yang mungil.

"Yah, mungkin perlu." ujarnya kemudian. Ia meletakkan skateboardnya berdiri menyandar di bangku, kemudian ia menghela napas. "Kau perlu tahu, semangatku down ketika mendengar kau tidak ingin ikut merayakan kemenangan pertandingan skateboardku."

"Dan?"

"Aku ingin kau selalu ada didekatku memberi semangat dalam pertandingan skateboard maupun basketku."

"Memangnya tidak bisa kalau aku tidak men-supportmu?"

"Hmm... Aku tidak tahu."

"Apa alasanmu?"

"Ng..."

"Kenapa harus aku? Bukankah masih banyak temanmu?"

"Ng.. Itu yah, ah sudahlah!" Arthur menyerah untuk menjawab seluruh pertanyaan Violet.

"Kau menyembunyikan sesuatu dariku, Arthur," senyum iseng Violet mengembang. Sepertinya ia dapat membaca pikiran Arthur.

"Apa? Kau mengetahuinya?" tanya Arthur cemas. Ia berusaha setenang mungkin, tetapi ia tahu itu sulit. Ia berada dalam keadaan tersulit sekarang, sama seperti ketika gurumu tahu bahwa kau mencontek dalam ujian.

"Hampir. Tapi aku akan benar-benar mengetahuinya kalau kau mau mengatakannya padaku."

"Ng.. tidak perlu kukatakan kalau kau tahu."

"Katakan saja."

"Tidak."

"Bisakah kau mengatakannya?" Violet mencoba menggelitiki pinggang Arthur. Arthur tahu jari-jari Violet dapat benar-benar membuatnya tertawa terbahak-bahak sampai ia sakit perut.

"Iya aku akan jujur bahwa mukamu tadi sangat mengerikan seperti hantu!"

"Apa?" Violet menaikkan satu alisnya, bertanya dengan nada yang sangat aneh. Seperti tidak merasa yakin dengan perkataan Arthur barusan. Tangannya masih mengacung di udara bersiap menggelitik Arthur yang berusaha menghindar darinya.

"Ya, aku mengatakannya."

"Tidak, tidak." Violet menggelengkan kepalanya dengan keras, merasa yakin bahwa semuanya salah. "Kau berbohong Arthur."

"Dan kau tahu itu," balas Arthur. Ia tahu ia adalah pembohong paling payah di dunia.

"Baiklah. Perlukah aku mengatakan yang sebenarnya agar aku yakin dengan pikiranku saat ini?" tanya Violet, menurunkan tangannya yang dari tadi masih mengacung di udara.

Arthur terbelalak kaget. "Tidak perlu," jawabnya dengan cepat. "Aku malu."

"Ya, wajahmu sudah memerah."

"Dan kau bisa lihat itu, Vi."

"Ya, tapi apa alasanmu menolakku?"

"Vi..."

"Baiklah, aku tidak akan bertanya apapun lagi padamu."

Malam itu Violet merasakan kebahagiaan dari sebagian hidupnya yang dingin bersama orang yang paling disukai dan dikaguminya.

- A.A.M.R (originally made by me)

0 opinions, critics, and solutions:

Post a Comment