Siang semua!
Kembali ke postinganku, membahas tentang sesuatu yang hampir tiap hari kita lakukan. Ya! Membuat seseorang selalu menunggu. Pernahkah kau menunggu seseorang? Apakah menyenangkan? Tidak sama sekali. Berikut cerpen yang kubuat untuk mencerminkan bagaimana rasanya menunggu seseorang.
Bunyi nyaring klakson bis sekolah memekakkan telingaku di pagi hari yang tenang ini. Adik-adikku yang masih tertidur dalam sekejap terbangun dari alam mimpinya. Mereka terlalu sibuk menggeliat. Ibuku sedang membuat makanan untuk bekal sekolahku. Sedangkan aku, sedang berusaha menghabiskan sarapan yang ada di hadapanku--sepotong roti keju dan susu coklat favoritku. Sulit untuk menghabiskan semuanya jika ayahku terlalu sibuk mengomel karena keterlambatanku untuk bangun tadi pagi. Seisi rumah menjadi ribut, sama seperti perempatan lampu merah di siang hari yang penuh dengan polusi, atau lalu lalang kendaraan bermotor.
Aku tahu ini salahku. Aku lupa mengaktifkan alarm di handphone-ku. Dan beginilah akibatnya. Aku pun langsung berlari ke arah kamar, mengambil beberapa buku cetak yang tidak kumasukkan ke dalam tas, dan menyambar tas hitamku yang sudah berdebu di sudut kamarku yang remang-remang. Aku tidak memedulikan seberapa banyak kata yang dikeluarkan oleh ayahku--bahkan aku tidak tahu apa yang ia katakan, hanya beberapa patah kata seperti sopan santun. Sulit berkonsentrasi di saat begini. Aku membuka kancing tasku dan mengambil botol minum yang ada di dalamnya. Dengan cepat aku berlari ke dapur dan mengisi botol berwarna orange jeruk tersebut dengan air putih. Aku menghabiskan susu coklatku yang sedaritadi berada di meja, tidak peduli seberapa banyak susu itu menyelimuti sebagian bibir dan pipiku. Roti yang disediakan ibuku untuk sarapanku langsung kuraih dan kusangkutkan di gigiku. Ibuku yang dengan tenang memberikanku uang saku dan sekotak bekal untuk makan siangku di sekolah hanya menggelengkan kepalanya. Aku memeriksa sekali lagi, apakah ada yang tertinggal--tetapi belum sempat aku memeriksa, ayahku sudah membentakku untuk masuk ke dalam bis. Untung saja aku sudah mengenakan sepatuku yang baru saja kucuci kemarin. Dengan sangat cepat, aku berlari menuruni tangga rumahku dan menyambar pegangan pintu bis untuk membukanya secepat mungkin. Setelah aku menutup pintunya, aku langsung menghabiskan roti yang tertahan di gigiku. Dengan mulut penuh aku berkata, "Maaf harus menunggu."
"Santai saja, ini masih pagi," jawab sang supir sambil menyangkutkan earphone di telinganya. Ia tampak mengetuk-ngetuk setir bis dengan kedua jari telunjuknya--mengikuti irama lagu yang sedang ia dengarkan.
Aku mengatur napasku yang terengah-engah. Mencoba menelan roti dengan tenang. Bis pun berjalan menuju rumah adik kelasku.
Tampak sebuah rumah yang besar berpagar besi hitam yang kokoh. Di terasnya yang luas dan tampak kosong terdapat dua buah kursi berwarna coklat terang, dan seekor kucing berwarna krem tidur di atasnya. Kau bisa melihat dua buah motor diparkir di dalamnya melalui celah-celah kecil dari pagar. Bahkan kau bisa melihat jemuran baju yang dipenuhi baju-baju kering yang belum diangkat. Rumah terasa sepi. Seperti dalam keadaan dini hari, di mana orang-orang masih tertidur pulas.
Kau tahu, apa yang terjadi? Lagi-lagi harus menunggu. Lama sekali. Klakson sudah bernyanyi selama 5 menit, tapi tidak ada satu orangpun yang keluar rumah. Aku bisa menyelesaikan pekerjaan rumahku saat itu. Bahkan sampai aku menyelesaikannya pun tidak ada seorangpun yang keluar dari pintu utama rumah itu--pintu besar berwarna coklat keemasan dengan jendela di sampingnya. Aku duduk dengan gelisah. Harus berapa lama kami menunggu, sih? Apa keluarga ini tidak diajari sopan santun? Aku ingat kata-kata yang sering dilontarkan dari mulut ayahku.
"Jangan membuat seseorang menunggu, Arthur. Itu merupakan kebiasaan yang sangat tidak sopan!"
Baiklah, kali ini tanpa sabar aku membentak sang supir. "Tinggal saja!" Tapi sang supir tidak menggubris.
Beberapa menit kemudian, keluar seseorang yang berumur sekitar 30 tahun mengenakan pakaian yang lusuh, dengan rambut hitamnya yang disanggul. Wajahnya sudah berkeriput. Ia keluar dan membuka pagar rumah yang besar itu. "Tunggu sebentar lagi ya, Sherly sedang menghabiskan sarapannya. Sebentar lagi ia akan keluar untuk mengenakan sepatunya. Ia juga harus mengenakan ikat pinggang dan dasinya dulu," ucapnya dengan tenang.
APA!? Harus berapa lama kami menunggu? Bahkan aku tidak separah dia! Kenapa supir ini diam saja? Haruskah aku mengguncangkan tubuhnya yang kecil agar dia menginjak gasnya dan melaju untuk pergi? Apa yang mereka semua pikirkan? Di mana sopan santun keluarga ini? Di mana akal sehat supir bis ini? Tidakkah mereka tahu bahwa menunggu adalah kebiasaan yang menyebalkan!?
Jadi, apa yang kalian petik dari cerpen yang kubuat di atas? Apakah sangat nyaman jika kalian berada di posisi Arthur? Ataukah kalian cukup memiliki akal sehat untuk menjadi seperti Sherly?
Teman-teman, aku tidak tahu seberapa parah sikap kalian. Tapi, saranku adalah untuk tidak membuat seseorang menunggu. Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan dan menyebalkan. Apalagi kita harus menunggu seseorang dalam waktu 1 jam! Lima menit saja kita sudah lelah menunggu. Maka dari itu, bagi teman-teman yang merasa, tolong ubah cara berpikir dan sikap kalian. Kalau kalian tidak suka menunggu, maka jangan membuat seseorang menunggu kita!
Keep your days with smile, do not forget the others!
P.S. Cerpen diambil dari kisah nyata. Nama tokoh diubah.
Saturday, January 22, 2011
Waiting, Boo!
- A.A.M.R
Tags:
Cerpen,
Important Opinion,
LOVE Bahasa ♥
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 opinions, critics, and solutions:
Post a Comment